Monday 30 April 2012

Sejarah Hukum di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.


BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Hukum di Indonesia
1.         Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

a.         Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

b.         Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

c.         Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1)      Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
2)      Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3)      Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4)      Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5)      Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
1)      Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;
2)      Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1)      Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
2)      Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
a)      Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
b)      Unifikasi kejaksaan;
c)      Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
d)      Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
e)      Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

2.         Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal

a.         Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
1)      Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan;
2)      Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

b.         Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

3.         Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a.         Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
1)      Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2)      Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman;
3)      Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;
4)      Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b.   Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:
1)       Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;
2)       Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

4.         Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1)      Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2)      Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3)      Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

BAB III
PENUTUP

kESIMPULAN
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa.
Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). 



Referensi :

Yang Merekomendasikan Sertifikasi Halal di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mayoritas (± 88%) penduduknya beragama islam.Masalah halal dan haram bagi umat Islam adalah sesuatu yang sangat penting, yang menjadi bagian dari keimanan dan ketaqwaan. Perintah untuk mengkonsumsi yang halal dan larangan menggunakan yang haram sangat jelas dalam tuntunan agama Islam.
Oleh karena itu tuntutan terhadap produk halal juga semakin gencar disuarakan konsumen muslim, baik di Indonesia maupun di Negara-negara lain.


BAB II
PEMBAHASAN

Majelis Ulama Indonesia dan organisasi massa Islam (ormas Islam) telah sepakat bahwa peran MUI dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) adalah sertifikasi halal. Salah satu alasannya karena MUI telah memiliki standar halal di sejumlah bidang yang sesuai dengan hukum syar'i yang dapat diterima ulama dalam dan luar negeri.

"MUI dan ormas Islam sepakat bahwa peran MUI dalam RUU JPH adalah dalam sertifikasi halal sebagaimana telah berjalan selama ini, yakni 23 tahun, yang telah melembaga dan diakui oleh umat Islam, baik di dalam maupun luar negeri.
Alasan lainnya, MUI juga telah mempunyai standar halal di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik sesuai dengan hukum syar'i yang bisa diterima oleh ulama, baik di dalam negeri maupun dunia Islam dan ulama di berbagai negara. Sesuai syar'i, MUI mengeluarkan sertifikat halal. "Yang merupakan fatwa tertulis yang dikeluarkan MUI tentang kehalalan suatu produk yang dituangkan ke dalam suatu sertifikat," .

Dalam mengeluarkan sertifikat halal, MUI pun berwenang untuk menyusun dan menetapkan standar halal, melakukan pemeriksaan produk, menetapkan fatwa kehalalan produk, hingga akhirnya menerbitkan sertifikasi halal. "MUI sudah punya standardisasi halal, bahkan sudah dibuat ke dalam seri buku yang sudah dicanangkan.
Oleh karena itu, MUI meminta sertifikasi halal agar tetap berada di tangan lembaga tersebut dalam RUU JPH. "Dari sertifikasi, dimulai dari hulu ke hilir itu di tangan MUI supaya dari segi keamanannya terjamin,"


Referensi :

Perusahaan yang Melanggar Aspek Hukum dan Etika Moral



BAB I
PENDAHULUAN

Para ahli sering berkelakar, bahwa etika bisnis merupakan sebuah kontradiksi istilah karena ada pertentangan antara etika dan minat pribadi yang berorientasi pada pencarian keuntungan. Ketika ada konflik antara etika dan keuntungan, bisnis lebih memilih keuntungan daripada etika.

BAB II
PEMBAHASAN

Bisnis juga terikat dengan hukum. Dalam praktek hukum, banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, baik pada taraf nasional maupun taraf internasional. Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam hal itu tidak sama. hukum dibandingkan dengan etika, tidak terbatas pada masalah-masalah baru, misalnya, disebabkan perkembangan teknologi.

Tanpa disadari, kasus pelanggaran etika bisnis merupakan hal yang biasa dan wajar pada masa kini. Secara tidak sadar, kita sebenarnya menyaksikan banyak pelanggaran etika bisnis dalam kegiatan berbisnis di Indonesia. Banyak hal yang berhubungan dengan pelanggaran etika bisnis yang sering dilakukan oleh para pebisnis yang tidak bertanggung jawab di Indonesia. Berbagai hal tersebut merupakan bentuk dari persaingan yang tidak sehat oleh para pebisnis yang ingin menguasai pasar. Selain untuk menguasai pasar, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi para pebisnis untuk melakukan pelanggaran etika bisnis, antara lain untuk memperluas pangsa pasar, serta mendapatkan banyak keuntungan. Ketiga faktor tersebut merupakan alasan yang umum untuk para pebisnis melakukan pelanggaran etika dengan berbagai cara.
CONTOH KASUS
1.      Pada tahun 1985 di Indonesia terjadi kasus menggemparkan dengan berita dalam media massa Internasional tentang dibajaknya kaset rekaman yang memuat lagu-lagu artis kondang dan dibuat untuk tujuan amal. Pada saat itu perbuatan tersebut menurut hukum yang berlaku di Indonesia masih dimungkinkan, tetapi dari segi etika tentu tidak dibenarkan karena dua alasan, pertama dengan pembajakan kaset ini, berarti melanggar hak milik orang lain, kedua pembajakan lebih jelek lagi karena kaset itu berkaitan dengan maksud amal. Dapat dimengerti bila reaksi di luar negeri terhadap pembajak Indonesia itu sangat tajam dan emosional.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi adalah adanya interaksi antara produsen atau perusahaan dan pekerja, produsen dan konsumen, produsen dan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Namun, pencapaian keuntungan tidak hanya oleh satu pihak. Dari sudut pandang ini, bisnis yang baik berarti bukan hanya mendapatkan banyak laba, tetapi bisnis yang berkualitas dan etis.



Referensi :

PENGAKUAN HUKUM UNTUK HAK MILIK

BAB I
PENDAHULUAN

Hak atas Kekayaan Intelektual disingkat HaKI atau padanan kata Intellectual Property Rights adalah hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia yang berupa penemuan penemuan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
       Pada awalnya hasil kreatif manusia atau human creativity dan juga yang berupa usaha atau hasil yang kreatif manusia  atau human effort disebarkan atau ditularkan begitu saja kepada orang lain – sebagai suatu ibadah – sehingga setiap orang dapat  mempergunakan/memakainya bahkan memasarkan hasil-hasil produksi yang mempergunakan hasil penemuan tersebut begitu saja. Namun di dalam perkembangannya, seandainya hasil karya kreatip manusia yang merupakan hasil karya intelektual tersebut dijadikan lahan atau obyek kegiatan bisnis, dilihat dari rasa keadilan serta  penghargaan terhadap penemuan hasil karya kreatif manusia, dirasa kurang pada tempatnya. Hal ini dapat dimaklumi karena untuk mendapatkan hasil karya intelektual tersebut si penemu atau pencipta telah mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran serta biaya yang jumlahnya relatif tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu dalam perkembangannya dirasa perlu adanya suatu perlindungan hukum terhadap hasil karya intelektual tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Perlindungan dan penegakan hukum HaKI bertujuan untuk mendorong timbulnya inovasi, pengalihan dan penyebaran teknologi dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Guna memberi perlindungan hukum atas hasil  karya intelektual di Indonesia serta untuk menyesuaikan dengan UU Nomor 7 Tahun 1994, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan HaKI, yaitu :
1.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentqng Hak Cipta.
2.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Paten.
3.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan aatas Undang-
     Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek.

Mengingat jenis dan lingkup penemuan dapat termasuk dalam cakupan yang berlainan, maka perangkat peraturan perlindungan hukum HaKI juga dibeda-bedakan guna mempermudah menemukan di mana  jenis hasil penemuan itu diaturnya.
      Pembagian jenis atau kelompok tersebut adalah :
1.      Pembagian  berdasarkan  Konvensi Pembentukan   WIPO  (Convention
     Establishing the World Intellectual Property Organization).
2.      Pembagian berdasarkan Lampiran Kesepakatan Pembentukan WTO atau
Agreement Establishing the World Trade Organiztion.
 Ad. 1. Pembagian berdasarkan WIPO ada dua kelompok, yaitu :
a.      Hak cipta atau Copyrights.
b.      Hak milik industri atau industrial property , yang terdiri dari ;
1). Paten.
2). Merek.
3). Desain produk industri.
4). Penanggulangan persaingan curang.
 Ad. 2. Pembagian berdasarkan WTO hak atas kekayaan intelektual dapat dirinci
           menjadi beberapa  jenis, yaitu :
            1). Hak cipta dan hak-hak yang terkait lainnya.
            2). Merek.
            3). Paten.
            4). Indikasi geografi.
            5). Lay out dari integrated circuit .
            6). Perlindungan terhadap indisclossed information.
            7). Pengendalian terhadap praktek-praktek yang tidak sehat dalam
                 perjanjian kreasi.

B.      HaKI Dalam Hukum Bisnis.
               Tujuan perlindungan hukum terhadap HaKI adalah selain untuk memberikan pengakuan terhadap hasil karya intelektual manusia juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada penemu/penciptanya melaksanakan sendiri penemuannya atau memberi persetujuannya kepada orang lain untuk mempergunaannya.
       Tidak semua hasil karya intelektual manusia yang diciptakan atau ditemukan menjadi miliknya, sebab misalnya berdasarkan pasal 8 UU Hak Cipta atau pasal 13 UU Paten, bila tidak diperjanjikan lain hak-hak tersebut menjadi pemilik dana yang membiayai penelitian atau pekerjaan tersebut. Meskipun mereka ini bukan pemegang hak atas karya intelektual tersebut, namun nama mereka tetap tercantum sebagai pencipta atau penemu.
       Hasil kreativitas  di bidang HaKI ini merupakan asset yang sangat bernilai di bidang bisnis, baik hasil karya yang berupa penemuan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra, desain industri bahkan tanda yang dipergunakan untuk merek dagang.
      Pemberian perlindungan HaKI berarti pengaman bagi para pemegang hak tersebut, dan pengaman tersebut dapat berupa antara lain ;
1.      Hak khusus (exclusive rights).
Hak khusus yang diberikan kepada penemu atau pemegang paten dimaksudkan agar pemegang dapat melaksanakan paten yang dimilikinya dan dapat melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, menjual atau mengimpor, menyewakan atau menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual hasil  produksi yang diberi paten.
Seandainya pihak lain berkeingingan mempergunakan hasil karya intelektual ini harus meminta ijin kepada penemu atau pemegang paten dengan membayar royalti yang besar kecilnya ditentukan dalam perjanjian lisensi.
2.      Hak ekonomi (economic rights).
Hak ekonomi adalah hak untuk mengumumkan, memperbanyak,  memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Hak ekonomi ini dapat dialihkan kepada orang lain dan pihak lain yang mempergunakan ciptaan orang lain dapat dipungut royalty sesuai dengan kesepakatan mereka.
3.      Hak moral (moral rights).
Hak moral adalah hak yang melekat pada si pencipta yang tidak dapat dialihan kepada orang lain/badan lain, sebab pencipta tetap melekat dengan ciptaannya, sehingga terdapat hubungan erat antara pencipta dengan hasil ciptaannya.
    Hak moral ini adalah hak pencipta atau ahli warisnya, yaitu berupa :
a.      Hak untuk menuntut kepada pemegang hak cipta supaya nama pencipta
     tetap tercantum pada ciptaannya.
b.      Hak untuk memberi persetujuan dalam perubahan ciptaannya.
c.       Persetujuan trhadap perubahan nama atau nama samaran pencipta.
d.      Hak menuntut seseorang tanpa persetujuannya meniadakan nam pencipta yang tercantum pada ciptaannya.
e.      Hak untuk menyewakan.     
      Selanjutnya hasil kreasi manusia yang merupakan hak milik atas penemuannya yang diakui sebagai hak kebendaan meskipun bersifat im-materiil, oleh pemiliknya dapat dialihkan kepada pihak lain selain dihibahkan dan diwariskan dapat juga dialihkan kepada pihak lain dengan cara perjanjian atau dilisensikan bahkan dapat juga dijual kepada pihak lain. Adanya perbuatan hukum yang berupa perjanjian lisensi atau bahkan menjual hasil karya intelektualnya kepada pihak lain tidak lepas dari lingkup kegiatan bisnis.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

HAKI  selain merupakan hak milik yang dapat diperalihkan kepada pihak
lain juga merupakan asset bisnis sangat strategis, hal ini terbukti bahwa WTO ikut berperan dalam kegiatan bisnis yang memuat kandungan HaKI.
      Pemegang HaKI memiliki hak-hak khusus yang berupa hak eksklusif, hak ekonomi dan hak moral yang kesemua hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun dan bahkan dapat disewakan atau dijual kepada mereka,




Referensi :
Yusuf, Emawati, 2000, Penataran  dan  Lokakarya Gugus HaKI,   Departemen
                           Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Dirjen Hak atas Kekayaan 
                           Intelektual, Jakarta.
Syafruddin, 2000,  Pengenalan  Dan  Pemahaman  Tentang  Desain  Industri,
                            Departemen  Pendidikan  Nasional,  Dirjen DIKTI,  Direktorat
                            Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Jakarta.
                             


ASPEK TULISAN HALAL DARI SEGI HUKUM




BAB I
PENDAHULUAN

Makanan Halal adalah semua jenis makanan dan minuman yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau yang diolah/diproses menurut hukum Agama Islam.
Tulisan Halal adalah tulisan yang dicantumkan pada label/penandaan yang memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk Agama Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Dasar Hukum yang Berkaitan dengan Sertifikasi Halal :
Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan.

Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab Label dan Bab Permohonan Persetujuan dengan beberapa pasal diantaranya , pasal 2,4,6,10, dan 11.
Bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sbb:
Bab Label :
Pasal 2 :
Pada label makanan dapat dicantumkan tulisan "Halal"
Pasal 4 :
(1)   Tulisan "Halal" sebagaimana dimaksud Pasal 2 harus ditulis dengan huruf Arab dan huruf Latin berwarna hijau dengan ukuran sekurang-kurangnya Univers Medium Corps 12 disertai tanda pengenal di dalam suatu garis kotak yang berwarna hijau seperti contoh berikut :
(2)   Tulisan sebagaimana dimaksud ayat (1) direkatkan pada wadah atau bungkus yang sesuai sehingga tidak mudah dilepas.
Bab Permohonan Persetujan :
Pasal 6 :
(1)   Pencantuman tulisan "Halal" pada label makanan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal
(2)   Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) produsen atau importir harus mengajukan permohonan
Pasal 10 :
(1)    Pemberian persetujuan pencantuman tulisan "Halal" diberikan setelah dilakukan penilaian oleh Tim Penilai.
(2)    Tim Penilai sebagaimana dimaksud ayat (1) ditunjuk oleh Direktur Jenderal yang terdiri dari unsur Departemen 
Pasal 11 :
(1)    Hasil penilaian Tim Penilai disampaikan pada Dewan Fatwa untuk memperoleh persetujuan atau penolakan.
(2)    Permohonan yang telah memperoleh persetujuan diberikan Surat Keterangan "Halal".

2.      Contoh Kasus

Waspada Tulisan Halal Pada J.Co Donuts.
Dalam kemasan produk J.Co Donuts terdapat tulisan “prepared in compliance to halal standards”. Permasalahannya adalah bahwa hingga saat ini produk J.Co Donuts belum pernah mendapatkan sertifikat halal dari MUI.
 Tulisan ini dikhawatirkan bisa memberi interpretasi berbeda bagi para konsumen yang menganggap bahwa produk J.Co Donuts ini sudah mendapat sertifikat halal. Kami berharap para konsumen tetap kritis dalam menyikapi hal ini. Produk bersertifikat halal biasanya terdapat logo halal MUI pada kemasannya dan nomor sertifikat halal. Untuk produk import bisa juga disertifikasi oleh lembaga sertifikasi halal yang sudah diakui MUI. 

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Seiring dengan perkembangan teknologi,industri makanan berkembang dengan pesat.
Sebagai contoh perusahaan besar seperti J.Co yang tidak memiliki sertifikasi halal dari MUI,mencerminkan sikap pemerintah yang tidak tegas dalam memberikan indikator kelayakan pangan bagi umat muslim di Indonesia .



Referensi :

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes